Kamis, 18 September 2008

Chad Muska


Chad Muska (born May 20, 1977 in Lorain, Ohio) is an American professional skateboarder. Over the span of his career he has been sponsored by many companies including Toy Machine, Shorty's, éS Footwear, C1RCA, KR3W, Element Skateboards, Ricta Wheels, and Supra. He resides in Los Angeles, California.

Using earnings from his pro skateboarding career, Muska set up his own makeshift music studio in his Los Angeles home. He later moved to a New York City hotel, the SoHo grand, and produced a hip hop album, MuskaBeatz, featuring stars such as Afrika Bambaataa, Raekwon, Special Ed, KRS-One, Guru, Biz Markie, Flava Flav, Prodigy, and Ice-T.

In early 2004, Muska started to step away from the skateboarding industry and became a figure in the Hollywood club scene. Around this time he also befriended Paris Hilton. In August 2006, while DJing at a club in Los Angeles at which Muska regularly spins, he had a scuffle with Kevin Connolly over comments made about Nicky Hilton. Muska was then escorted out of the club.[1] Several reports have surfaced with different claims about who started the fight and who got hurt.

In late 2005 Muska started to make a comeback into the industry. He left long-time sponsor Shorty's Skateboards in July 2006 and was developing a new project,[2] although he then joined Element that November. His current sponsors are Supra Footwear, KR3W Apparel, Element Skateboards, Ricta Wheels, Mob Griptape, Independent Trucks, Rockstar Energy Drink and Brooklyn Projects. He has a high-top signature shoe from Supra called the Skytop.

He has been featured in the first six Tony Hawk games, from THPS to THUG2, and in Shorty's Skateboard's films Guilty, Toysoldierz, Fulfill The Dream, How To Go Pro, and Bak2Basics. He appeared in the latest Element skateboards project, "Go Skateboarding Day", entitled, This Is My Element.

Muska has also made cameos in music videos, such as singer Kelis' "Bossy", N*E*R*D's "Rock Star", and the Handsome Boy Modeling School's "The World's Gone Bad", and later was featured in HBO's Entourage.

Mike Vallely


Mike Vallely (pronounced VAL-uh-lee; born June 29, 1970), a.k.a. Mike V, is an American professional skateboarder.

Vallely was born in Edison, New Jersey and resides in Long Beach, California. He is the singer in the hardcore band Revolution Mother and in the punk rock band Mike V & the Rats. He also sang for Black Flag on their 2003 reunion shows in Los Angeles. He was the singer for the part of the show where the band played the entire My War album. He is on the Element Skateboards team as a pro skater. Vallely was featured in the popular Tony Hawk's Pro Skater video game series. Vallely is also a big fan of the NHL's Anaheim Ducks, as he writes a blog on the Ducks' official website. Vallely also has a wife Ann and two children, Emily and Lucy.

Mike Vallely started skateboarding in the autumn of 1984 and was sponsored only two years later in the summer of 1986 by Powell Peralta. That same summer he was the NSA National Amateur Streetstyle Champion and appeared on the cover of Thrasher Magazine.

Vallely turned pro in 1987 and in 1988 he moved to California from his native state of New Jersey and his first pro model skateboard was released by Powell Peralta.

In 1989 he left Powell Peralta to help form World Industries Skateboards which revolutionized the skateboard industry.

In 1992 Vallely married his longtime girlfriend Ann and in December of that year their daughter Emily was born.

In 1995 Vallely won the first annual Skatepark Of Tampa Pro Street Contest in Tampa, Florida and competed in the first ever X-Games.

In 1997 Vallely traveled to China to do the very first professional skateboard demonstrations in that country.

In 1998 Etnies Footwear released Mike V’s first signature skateboard shoe.

In the summer of 2001 Vallely joined Tony Hawk on his Gigantic Skatepark Tour and would go on to be featured on many of Hawk’s tours and video games including Tony Hawk Underground, Tony Hawk's American Wasteland and Tony Hawk's Project 8

In 2002 Build Worldwide released the documentary film DRIVE detailing Vallely’s career, his passion for skateboarding and his dedication to the skateboard community. That same year Vallely formed his band Mike V And The Rats as well as recorded his first solo record with Pittsburgh singer / songwriter Joe Grushecky.

In 2003 Vallely performed with Black Flag as a guest vocalist at the Black Flag Reunion Show at the Hollywood Palladium in Hollywood, California.

In 2005 Fuel TV began airing Vallely’s television series, DRIVE: Notes From The Wilderness and Sportskool began airing Mike V’s Video On Demand skateboard instructional segments on digital cable. Vallely currently resides in Long Beach, California with his wife and their two daughters. He continues to pursue his music with his new band Revolution Mother formed in November 2005.

Vallely is an avid ice hockey fan and player. He has done charity work for the NHL and is currently working with the Anaheim Ducks to promote hockey in Southern California. Vallely is a board member of the Tony Hawk Foundation which helps fund skateparks nationwide and also sits on the board of the Patrick Kerr Skateboard Scholarship which funds college scholarships for skateboarders.

Minggu, 14 September 2008

Cacian dan Senyuman untuk Komunitas Artcoholic


MESKI punya nilai seni serta enak dipandang mata, ternyata grafiti juga mampu membuat orang lain berang. Soalnya, tidak sedikit pemilik rumah atau bangunan keberatan tempatnya dicorat-coret. Kalau itu yang terjadi, tidak jarang membuat anak muda komunitas grafiti sedikit keger, apalagi sampai berurusan dengan aparat.

''Iya, pernah kita bikin grafiti di kawasan perumahan sekitar Blok M, dan ternyata tuan rumahnya marah besar,'' kata mahasiswi Desain Grafis, Lembaga Pendidikan Inter Studi (LPIS) Jakarta, Marintan.

Waktu itu, ceritanya, bersama teman-teman lainnya ia membuat sebuah grafiti di salah satu tembok rumah. Beberapa saat kemudian, tuan rumah mencak-mencak karena menganggap temboknya dicoret segerombolan anak muda berandal.

Tidak tanggung-tanggung, sang empunya rumah memanggil ketua rukun warga (RW) serta melaporkan aksi itu ke polisi. Reaksi itu sempat membuat ciut Marintan dan teman-temannya walaupun mereka sudah minta maaf dan mengecat kembali tembok tersebut. ''Padahal kita sudah mengecat ulang kembali, dan polisinya sendiri sudah tidak mempermasalahkan lagi perkara ini. Tetapi tetap saja tuan rumah masih marah, bete banget kan,'' tutur Marintan.

Gaban --panggilan akrab Marintan-- juga mengaku pernah didatangi pemilik salah satu hotel. Sekuriti dan pihak gedung tersebut merasa keberatan jika temboknya dicorat-coret, akibatnya dari pihak mahasiswa meminta maaf dan meminta waktu dua minggu untuk mengabadikan beberapa grafiti yang telah dibuat.

Sedangkan Jakie mengaku pernah dikejar-kejar aparat keamanan karena membuat grafiti di salah satu tembok kantor. Bersama teman lainnya lari terbirit-birit menuju gang kecil dan berpura-pura berbaur dengan masyarakat. ''Kita pura-pura jadi masyarakat situ yang lagi nongkrong di pinggir jalan, terus setelah melihat kondisinya aman kita kembali lagi untuk menyelesaikan gambar yang belum jadi,'' jelas Jakie

Berbeda dengan peristiwa di atas, aksi demo komunitas 'Artcoholic' membuat grafiti di under pass Jalan Casablanca, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu berlangsung lancar.

Bahkan, hingga tengah malam, tidak kurang ada lima mobil patroli polisi yang melintasi di dekat komunitas grafiti itu bekerja. Salah satu di antaranya berjalan perlahan dan tersenyum sambil melambaikan tangan kepada anak-anak muda 'Artcoholic' itu, padahal sebelumnya jantung mereka sempat berdebar kencang karena takut.

Sedangkan para pengguna jalan lainnya justru menikmati aksi mereka; beberapa dari pengendara sengaja melaju lamban. Salah seorang pengendara motor terlihat berhenti dan tiba-tiba mengeluarkan kartu nama. ''Orang itu bilang gue disuruh SMS --short massege service-- ke nomor handphone-nya agar nanti jika dia butuh bisa menggunakan kita,'' tutur salah satu 'Artcoholic', Okta.

'JOGJA BERHATI MURAL' Sebuah Dokumentasi Urban Art di Yogyakarta


C-Cinema merupakan produk riset materi dokumentasi audio visual Indonesian Visual Art Archive, yang bertujuan untuk mengoptimalkan kerja dokumentasi audio visual sehingga bisa diapresiasi oleh masyarakat luas. Sebagian besar footage dan foto dalam video ini menggunakan material koleksi audio visual yang telah dikumpulkan pusat dokumentasi IVAA sejak tahun 1999 – 2006 yang dikomparasi dengan riset perkembangan seni publik (mural) dan urban art di Yogyakarta.

Projek Dokumenter C-Cinema IVAA yang perdana ini ingin memperlihatkan perkembangan seni publik (khususnya mural kota) yang ada di Yogyakarta dalam kurun waktu '90-an hingga sekarang. Dalam kurun waktu hampir satu dasawarsa, mural banyak melibatkan aspek partisipasi masyarakat secara luas dan memberi pengaruh pada kebijakan pemerintah kota, dan seniman muda, serta turut membentuk identitas kultur baru pada kota Yogya itu sendiri di era sekarang.

Graffiti Sebagai Karya Seni?

Dinding-dinding di sepanjang Jalan Tamblong yang semula putih bersih, kini sedikit berwarna. Kini, selain dipenuhi oleh "flyers" dan poster yang ditempel sembarangan, coretan-coretan jahil yang dibuat dengan cat semprot, juga mulai memenuhi dinding-dinding tersebut. Bikin mata orang-orang yang lalu lalang, mau nggak mau seperti tersihir untuk melihat atau sekadar melirik. Katanya sih, itu adalah graffiti, coretan yang dibuat untuk mengekspresikan kebebasan.

Graffiti yang berasal dari bahasa Yunani "graphein" (menuliskan), diartikan oleh wikipedia.org sebagai coretan pada dinding atau permukaan di tempat-tempat umum, atau tempat pribadi. Coretan tersebut, bentuknya bisa berupa seni, gambar, atau hanya berupa kata-kata. Graffiti yang banyak bertebaran di jalanan kota Bandung, masih sebatas coretan kata-kata yang merupakan identitas geng atau malah hanya berupa nama. "Itu masih bisa dikategorikan sebagai seni, walau mungkin pada levelnya berbeda, ya," ungkap Roy, seorang pelaku graffiti yang sempat belia temui ketika membuat satu graffiti di sebuah distro di bilangan Jalan Burangrang, Jumat (9/12).

Penggunaan cat semprot untuk bikin sebuah graffiti, sudah mulai dikenal di New York, akhir tahun 60-an. Coretan pertama dengan cat semprot, dilakukan pada sebuah kereta subway. Seorang bernama Taki yang tinggal di 183rd Street Washington Heights, selalu menuliskan namanya, entah itu di dalam kereta subway, atau di bagian luar dan dalam bis. Taki183, gitu bunyi tulisan yang ia buat menggunakan spidol. Taki ini seperti ingin nunjukkin identitas dirinya. 183 yang ia tulis setelah namanya, nunjukkin tempat tinggalnya.

Gara-gara coretannya tersebut, orang-orang di seluruh kota jadi kenal dengan Taki, lewat coretan-coretan misteriusnya. Di tahun 1971, mister Taki ini diinterview oleh sebuah majalah terbitan New York. Dari situlah, kepopuleran Taki diikuti oleh anak-anak seluruh New York. Anak-anak ini tertarik karena kepopuleran bisa diperoleh dengan hanya menuliskan identitas mereka --disebut juga tagging-- pada bus atau kereta yang melewati seluruh kota. Semakin banyak nama atau identitas seorang anak, sudah pasti ia akan semakin populer.

Setelah spidol, media yang kemudian biasa digunakan adalah cat semprot, yang dipakai untuk nge-bomb (istilah untuk menyemprot) bagian luar kereta. Karena semakin banyaknya orang-orang yang bikin tagging, nggak heran kalau setiap writers, pengen punya style sendiri. Dari situ, mereka nambahin warna-warna yang eyecatching, efek-efek khusus, bahkan mereka mencoba untuk menuliskan namanya lebih besar. Dengan bantuan cat semprot, pengerjaan graffiti ini lebih cepet beres.

Makanya, untuk mengantisipasi tagging yang mulai mewabah, pihak kepolisian setempat sampai melarang penjualan cat semprot pada anak-anak di bawah umur. Saking banyaknya pelaku graffiti, di Meksiko pun diberlakukan aturan serupa. Bahkan, setiap pembeli cat semprot harus menunjukkan identitas yang jelas dan menyertakan alasan untuk apa cat semprot itu digunakan.

"Bikin graffiti di public space itu seperti punya gengsi sendiri. Selain itu adrenalin bakal terpacu, karena takut dikejar polisi atau gangster," kenang Roy, yang pernah ke-gap sama gangster pas bikin graffiti di public space. Yup. Selalu public space yang menjadi sasaran para seniman jalanan ini untuk berkreasi. "Sebagian orang ada yang nganggep graffiti sebagai karya seni, tapi nggak sedikit juga yang bilang kalau coretan-coretan itu malah ngerusak," kata Radi, seorang mahasiswa seni lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB.

Jika graffiti ini dilakukan tanpa seizin pemilik tempat, perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan vandal. Mungkin banyak di antara Belia yang belum tau apa itu arti vandalisme. Vandalisme bisa diartikan sebagai tindakan yang merusak properti orang lain. It means, graffiti atau mural yang dilakukan tanpa izin di tempat-tempat umum, bisa dikategorikan sebagai vandalisme. Sementara, banyak orang yang berpendapat, kalau graffiti di dinding-dinding jalan, masih lebih baik daripada dinding-dinding tersebut kotor, tidak terawat, dan penuh dengan tempelan flyers atau brosur-brosur yang nggak penting.

Kalau Belia lewat Jalan Siliwangi, mata terasa lebih segar karena ngeliat mural di sepanjang dinding jalan, pasti setuju kalau karya seni yang seperti itu bukan termasuk perbuatan vandal. "Iyalah. Soalnya mural di Siliwangi itu legal kok. Pihak Pemda, sekitar dua tahun lalu, pernah ngasih proyek itu buat kita," kata Yogie, yang bareng Radi, jadi konseptor pembuatan mural tersebut.

Mural yang berarti lukisan pada permukaan yang lebar, memang terasa lebih legal dibandingkan dengan graffiti yang berkesan liar. "Bedanya sih, mungkin hanya pada medianya aja ya. Kalau graffiti banyak pake cat semprot, sementara mural make cat tembok. Kalau nyeni atau nggaknya ya, tergantung yang liat. Nggak ada parameter khusus," lanjut Yogie.

Senada dengan Yogie, Roy pun bilang kalau bagus atau jelek itu relatif. "Susah sih, kalau mau bilang bagus atau jelek. Isi tulisan-tulisannya, mungkin dibilang jelek tapi malah keinget terus sama yang baca. Tapi graffiti di film Alexandria saya bilang butut, sementara orang lain mungkin bilang itu bagus," tandas Roy sembari memberi contoh.

Legal atau nggaknya sebuah karya di jalanan, bagi Roy yang juga lulusan FSRD ini, tetap dinilai sebagai sebuah karya. "Di Jogja, graffiti dan mural malah dilegalkan. Pemerintah setempat ngebolehin, bahkan menyediakan lahan untuk para street art berkarya. Sementara di Bandung, belum ada pelegalan seperti itu. Beda ceritanya kalau lu punya duit," katanya sedikit berapi-api.

Alih-alih sebagai tindakan vandal, graffiti, mural, tagging, dan sebagainya adalah merupakan kebebasan berekspresi. Tetapi, kebebasan berekspresi saat ini masih didominasi oleh kaum berduit, yang mampu membeli tempat untuk menumpahkan kreativitasnya. Sementara para seniman jalanan, mesti sembunyi-sembunyi atau malah kejar-kejaran dengan pihak aparat hanya untuk berkreasi. "Seniman yang jelas-jelas bikin karya di privat place aja sempat dibakar aparat, apalagi street art yang berkarya di public space," lanjut Roy.

Setiap seniman punya style masing-masing untuk mengekspresikan karyanya. Makanya, tidak sedikit seniman yang malah "bersaing" untuk bisa menciptakan karya bagus di tempat yang lebih lebar, misalnya, atau untuk meraih kepopuleran. Selain saingan, ada juga proses pembelajaran yang diturunkan dari seniman yang tergolong kelas senior kepada juniornya. "Yang baru belajar biasanya jadi kenek dulu. Kerjaannya masih sebatas ngewarnain, atau bantuin yang gampang. Seniornya, yang bikin sketsa di kertas dan di dinding," ujar Roy.

Proses bikin graffiti atau mural kurang lebih sama. Pertama, sketsa dibuat pada kertas, lalu kemudian sketsa tersebut dipindahkan ke dinding. "Yang lebih gampang sih, si sketsa udah "ditembakkin" pake proyektor, jadi nggak perlu bikin sketsa di tembok. Tapi, ya, gengsinya mungkin lebih turun kalau dibantu pake proyektor," kata Roy lagi.

Nggak sedikit duit yang dikeluarin untuk bikin satu graffiti atau mural. "Untuk bikin gambar di tembok yang berukuran sedang, bisa habis kira-kira dua puluh kaleng cat semprot. Sementara ini (garasi distro yang sedang dibuat graffiti-red) abis 40an kaleng," jelas Roy.

Sayang banget kan kalau hanya ngabisin cat semprot untuk tulisan-tulisan yang nggak ada maknanya, atau malah bikin sebel orang yang liat. Radi dan Yogie pun punya pendapat serupa. "Kalau mau bikin graffiti atau mural, mending sekalian yang edun, daripada hanya tulisan atau gambar yang teu kaharti."katanya.

Graffiti sampai kapan pun mungkin bakal jadi kontroversi. Di satu pihak bakal bilang kalau graffiti itu perbuatan vandal, tapi pihak yang lain mengartikan seni, kebebasan berekspresi. Lain halnya di Yogyakarta, yang setiap seniman bebas berkarya, pihak pemerintah pun nggak perlu repot-repot ngejar-ngejar seniman yang bandel. Karya yang nggak bikin sakit mata, lebih-lebih sakit hati, tentu bakal diapresiasi dengan baik oleh masyarakat. Kebebasan berekspresi bisa saja diredam, tapi nggak bisa dihentikan.***

Warna-warni Grafiti Mengepung Kota




Setiap hari, tiap kali menempuh ruas jalan di Jakarta, sekali waktu mata Anda mungkin pernah tergoda memerhatikan warna-warni coretan cat semprot yang menempel di dinding kosong, halte, tiang listrik, dinding seng, hingga badan bus metro mini.
Bunyinya bisa macam-macam, mulai dari sekadar nama sebuah sekolah penguasa jalur sepanjang rute bus, tuntutan kepada pemerintah, hingga tulisan-dilengkapi gambar-dengan desain dan komposisi warna yang rumit.

Goresan itu terbagi dua yaitu grafiti (coretan) dan mural (lukisan). Kehadirannya pun punya dua makna, memperindah atau malah dianggap mengotori pemandangan.
Buktinya, lukisan mural karya para perupa dalam ajang Jak@rt lima tahun lalu justru dihapus Pemda DKI Jakarta.

Sebaliknya di Yogyakarta, kedua karya itu justru jadi bagian tak terpisahkan dari kota itu. "Yogyakarta harus diakui sebagai tempat tumbuh kembang grafiti dan mural. Di sana jauh lebih berkembang dibandingkan kota-kota lain," ujar Ing, salah satu pentolan grafiti Bandung yang juga pemilik distro Wadezig.
Sementara itu, di Jakarta selama menyusuri ruas jalan Jakarta, saya mencatat setidaknya ada beberapa seniman grafiti yang rajin ngebom atau membuat karya mereka di seantero tembok kusam Ibu Kota.

Sebut saja Darbotz alias Darma Adhitia, pendiri TembokBomber.com yang lebih suka disebut sebagai street artist daripada artis grafiti, karena dia tidak hanya berkarya dengan cat semprot, tapi juga dengan cat biasa dan sticker.
Terkenal dengan karakter 'cumi' yang menghiasi jalan-jalan di Jabotabek, misinya adalah untuk membuat karakternya terkenal menjadi sebuah brand.

Ada Toter Crew, diperkuat Kicky dan Wormo pada pertengahan 2002. Toter atau Total Teror, berasal dari kata gaul Malaysia, berarti mantap. Toter mulai berkreasi di jalanan sejak 2004. Keduanya percaya bahwa grafiti jalanan bukanlah perusakan, dan jalanan adalah sebuah galeri yang besar dan bebas.
Pada saat masih belajar ngebom di jalan-jalan Jakarta, mereka bergabung dengan TembokBomber. Sekarang keduanya bekerja sebagai desain grafis paruh waktu.

Ada pula Tutu alias Age yang termasuk senior dunia seni Jakarta. Ketika stensil belum ada, kita bisa temukan hasil karya stensilnya berupa karakter beruang Winnie the Pooh & wajah misterius di bemo dan bajaj di Kemang, daerah kekuasaan Tutu. Saat ini dia bekerja sebagai 3D Animator di SpatLab dan Animagic. Baginya, street art adalah cara untuk menunjukkan kritik sosial.

Lalu ada Modern Crew, alias Echo. Sejak demam seni grafiti mulai melanda Jakarta pada 1997, seniman ini dikenal memiliki teknik pewarnaan yang sangat bagus. Dengan karyanya, dia selalu mencoba untuk menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar ekspresi.

Begitu pula Kims atau Prianggadhi Angga yang memulai grafiti sejak 1998. Lima tahun kemudian, bersama dua temannya membentuk Fat Crew, tapi akhir-akhir ini Kims berkreasi sendiri dan tidak memakai tag Fat Crew lagi.

Ada juga Ones, salah satu Artcoholic Crew. Mahasiswa InterStudi ini telah melakukan grafiti lebih dari lima tahun. Karya-karyanya banyak mengandung pesan kepada publik bahwa grafiti bukan kejahatan atau perusakan.

Lalu, Graver, anggota Mase Crew yang terbentuk dua tahun lalu dan punya cita-cita meningkatkan dunia grafiti di Indonesia dan dapat menjadi salah satu legendaris grafiti.

Salah satu srikandi di dunia ini adalah The Slyndicates alias Sanchia. Termasuk pendatang baru di komunitas desain grafis Jakarta.
Perempuan ini dikenal dengan ilustrasi dan karakter desainnya yang aneh, sebuah media di mana dia menemukan kebahagiaan dalam menuangkan emosi di tembok.

Nama-nama mereka terdengar aneh di kuping. Maklum, seni yang mula-mula berkembang di tembok makam kuno atau rusak ini lalu jadi penanda kekuasaan gang sejak dimulainya urbanisasi besar-besaran di berbagai daerah di AS.

Dalam dunia grafiti, tanda ini dikenal sebagai tag, namun mendekati akhir abad ke-20, tag tidak berhubungan lagi dengan gang dan mulai diberlakukan seperti tanda tangan.
Tag, seperti nama samaran, kadang dipilih untuk merefleksikan beberapa kualitas dari si pembuat (writer). Tagging dipopulerkan seniman Hobos dan dengan bantuan media dan musik rap; sehingga ditiru di seluruh dunia.

Butuh nyali
Sebagai aktivitas yang rentan disebut pengganggu ketertiban, selain para seniman grafiti dituntut punya kreativitas dan teknik yang tinggi, mereka juga diwajibkan punya nyali lebih kalau sewaktu-waktu digertak petugas.
Lebih sial lagi kalau kemudian mereka kemudian sampai harus masuk bui gara-gara terkena pasal-pasal vandalisme akibat aktivitas coreng-moreng di dinding Ibu Kota itu.

"Tapi akhir-akhir ini kami udah jarang ngejar-ngejar mereka [pembuat grafiti] kayak dulu. Soalnya karya mereka sekarang bagus-bagus. Justru yang mengotori pemandangan itu iklan," ujar Udin, petugas Tramtib yang ditemui Bisnis di persimpangan Slipi.

Toh meski mulai 'aman', para pembuat grafiti di Jakarta tetap saja punya keinginan untuk membuat grafiti di posisi yang menantang. Misalnya tempat yang susah di jangkau di tiang jalan layang yang tinggi. Selain menaikkan pamor, juga untuk memperoleh hasil yang terbaik.

"Tapi pernah juga sih kita dilaporin Tramtib ke polisi waktu ngebom [bikin grafiti] di Pondok Indah. Tapi nggak sampai harus masuk penjara. Cuma disuruh ngecat dan bikin surat perjanjian nggak akan ngebom lagi," kenang personel Toter, Wormo.
Jebolan Limkokwing Institute Creative of Technology (LICT) Malaysia itu dalam sebulan bisa dua atau tiga kali ngebom dengan sedikitnya enam kaleng cat semprot di tempat-tempat yang menantang dan tidak dipikirkan orang lain.

Selain bermodalkan senjata tradisional cat kaleng semprot atau stensil di tempel, ada pula yang fanatik menggunakan teknik Wheat Pasting atau Paste - Up yang biasa dikerjakan oleh The Slyndicates.
"Caranya gambar, terus di fotokopi perbesar sebesar-besarnya, gunting lantas ditempel di mana saja menggunakan lem fox campur air. Budgetnya sih tergantung mau nempel berapa banyak, tapi modalnya kira-kira Rp200.000-an," tutur dia.
Jebolan Swinburne National Institute of Design, Melbourne, Australia, dan Amsterdam Instituut Voor Schilderkunst (AIS) itu mengaku menggunakan teknik itu karena kurang percaya diri dengan penggunaan cat semprot. Hanya saja, lanjut dia, teknik ini punya kekurangan tak tahan lama dan sangat mudah rusak jika tersiram air hujan atau lapuk oleh kelembaban.

Toh, apapun teknik yang dipakai para penggiat grafiti di tanah air, nasib mereka jelas lebih bagus dibandingkan kawan-kawan mereka di luar negeri.
Sebut saja pentolan grafiti internasional asal New York , Ewok-sempat datang ke Jakarta bulan lalu-yang sudah delapan kali masuk bui karena grafiti dari 1993 hingga 2001.

Dengan kondisi ini, tak heran setiap hari akan makin mudah saja kita temui grafiti baru di sudut kota Jakarta dan warna-warni indah itu serasa makin mengepung kita.

Sabtu, 13 September 2008

Hollywood Akan garap Film Biografi Legenda Reggae Bob Marley


Sebuah studio Hollywood telah membeli hak untuk memfilmkan otobiografi Rita Marley, janda legenda reggae Bob Marley, pers industry Hollywood melaporkan Selasa.

Daily Variety melaporkan bahwa Weinstein Studio telah membeli hak atas buku keluaran 2004 yang bertajuk "No Woman, No Cry: My Life with Bob Marley", dan berharap akan merilis film biografi itu pada akhir 2009.

Bob Marley, yang kelahiran Jamaika dan merupakan seorang mahabintang musik reggae internasional, meninggal dunia akibat kanker pada 1981 pada usia 36 tahun.

Robert "Bob" Nesta Marley, demikian nama lengkap penyanyi, penulis lagu, gitaris dan aktivis tersebut, amat dikenal sebagai penampil musik reggae.

Lagu-lagunya yang meledak antara lain "I Shot the Sheriff", "No Woman, No Cry", "Three Little Birds", "Exodus", "Could You Be Loved", "Jamming", "Redemption Song", dan "One Love".

Album kompilasinya setelah kematiannya, "Legend", yang dirilis pada 1984 merupakan album reggae terbaik hingga sejauh ini, dengan penjualan mencapai lebih dari 12 juta keping, demikian kata AFP mengutip Variety.

Pas Band, Steven & The Coconut Treez Ramaikan Zona Bikers Damai

Pas Band dan kelompok musik reggae Steven & The Coconut Treez akan tampil untuk memeriahkan Zona Bikers Damai di Pantai Karnaval Ancol, Jakarta Pusat, Minggu (30/12).

Acara itu dipromotori oleh Korekapi Communication dengan dukungan Ikatan Motor Indonesia (IMI), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Badan Narkotika Provinsi (BNP) DKI Jakarta.

"Pas Band, Steven & The Coconut Trezz, dan band-band lain seperti The Denok, The TITa, akan tampil untuk menghibur pengunjung, para biker dan juga anggota keluarga kerabat maupun teman mereka," kata Novita Handayani dari Korekapi Communication, kepada pers di Jakarta.

Zona Bikers Damai merupakan acara yang diarahkan menjadi ajang para biker berkumpul dan berinteraksi dalam kegiatan-kegiatan positif, sekaligus juga untuk menyatakan sikap bahwa mereka anti kekerasan, bukan penyuka narkoba atau pun aksi-aksi negatif lainnya.

Sejumlah pengurus IMI dan BNN/BNP dan PT Taman impian Jaya Ancol hadir dalam jumpa pers, di antaranya Alex Atmasubrata, Irawan Sucahyo, Drajat Sayuti, Dr Sudirman, dan Ir. Budikarya Sumadi.

Menurut Ketua IMI Bidang Wisata, Alex Atmasubrata, pihaknya sangat mendukung kegiatan tersebut, terutama sekali karena adanya fenomena geng motor yang meresahkan masyarakat.

"IMI bukanlah tempat bagi geng motor seperti itu, kami perlu klarifikasi soal itu," katanya.

Ia juga menyatakan bahwa dalam acara Zona Bikers Damai akan dilakukan deklarasi bahwa klub-klub motor anggota IMI anti kekerasan dan narkoba.

Dr Sudirman dari BNP DKI Jakarta mengatakan, "Kami bahkan menunggu anggota IMI secara sukarela memeriksakan urine-nya."

Irawan Sucahyo, mantan Sekretaris IMI Pusat, mengakui pihaknya sangat prihatin pada kasus munculnya geng-geng motor yang meresahkan masyarakat seperti yang terjadi di Bandung beberapa waktu lalu.

"Kami juga sudah berbicara dengan Polda Jawa Barat dan kami juga diminta memberi bantuan untuk mengarahkan geng-geng motor seperti itu," katanya,

Sementara itu, Budikarya Sumadi, Dirut PT Taman Impian Jaya Ancol, menyatakan bahwa pihaknya adalah sahabat IMI dan BNN, dan akan senantiasa mendukung semua kegiatan kedua organisasi tersebut.

"Ancol menerapkan konsep edutainment. Pendidikan dan pembinaan tentang bahaya penyalahgunaan narkoba melalui acara rekreasi seperti ini," katanya.

Selain Pas Band dan Steven & The Coconut Treez, hiburan dalam acara Zona Bikers Damai juga akan menampilkan kelompok sexy dancers, cheerleaders, dan diisi aneka permainan, motor clinic, body painting, fortune teller, dan bazzar, serta "doorprize".

OH MY GOD, IT'S A PAIR OF MACBETH!


Keinginan untuk menjadi kolektor sepatu sepertinya eksis dalam diri semua umat manusia. Hanya level-nya saja yang berbeda-beda. Memang tidak sedikit jumlah orang yang amat sangat mencintai produk alas untuk kaki yang penemuanya sudah berabad-abad lalu ini. Dan mereka yang rela mengeluarkan uang untuk koleksi sepatu yang terbaru ataupun yang terhitung vintage juga semakin lama semakin bertambah. Bukan hanya multi-milyuner saja yang punya hobi mengoleksi sepatu ini, namun FREE! juga mengenal beberapa orang biasa yang rela tidak pergi clubbing, makan-makan di luar, atau shopping selama berbulan-bulan, guna menabung untuk membeli sepasang sepatu yang bereputasi sebagai collector's item. Memang perbuatan yang cukup gokil bagi mereka yang tak dapat mengerti kelakuan ini, namun pada jaman sekarang sepertinya justru segelintir manusia yang tidak perduli dengan merk sepatu-lah yang dianggap miring. Therefore, jutaan rupiah yang setiap tahunnya dikeluarkan seseorang untuk beberapa pasang sepatu adalah sesuatu yang sudah dianggap normal. Apalagi bila ada seorang designer yang sudah mempunyai nama dalam dunia fahion membuat design untuk sepatu. Ini pasti menjadi berita heboh yang membuat jutaan manusia ingin memilikinya. Jujur saja, setiap orang pasti berkeinginan mengoleksi sepatu yang sedang 'in', apalagi yang memang bagus dan nampak bergaya jika dipakai.

Nah, diantara beribu perusahaan sepatu ber-merk yang dapat meningkatkan gejolak hasrat manusia untuk memburu sepatu mereka salah satunya adalah merk sepatu Macbeth. Macbeth merupakan merek ciptaan Tom DeLonge dan Mark Hoppus dari band terdahulunya, Blink 182. Terciptanya brand ini pada tahun 2005 lalu juga mempunyai pengaruh yang lumayan besar di antara kalangan muda Amerika. Macbeth mempunyai sebuah tema yang bertajuk “The Sport of Life”. Tema ini berarti bahwa produk sepatu tersebut dapat Anda gunakan untuk olahraga maupun untuk bergaya dalam aktifitas sehari-hari.

Semenjak kreasinya menghantam hati para kaum muda di seluruh dunia, Macbeth telah menjadi salah satu sepatu yang masuk dalam kategori 'patut dimiliki'. Keberadaannya sudah diakui oleh kalangan kolektor-kolektor sepatu. Di Indonesia sendiri pun juga banyak yang memakai merk sepatu ini. Namun, sepertinya menemukan sepatu ini masih termasuk sulit. Terlebih lagi yang original-nya. Mungkin yang palsu pun bisa dibeli karena alasan sulitnya menemukan merk ini. Well, karena peminat Macbeth sudah sangat banyak jumlahnya, sekarang ini tidaklah lagi susah untuk menemukan sepatu ini. Sekarang, bagi yang memang sudah lama mengidamkan berjalan-jalan memamerkan sepatu ini, Anda boleh berbahagia karena sudah hadir satu toko yang dipenuhi dengan koleksi Macbeth, dari yang terbaru sampai yang sudah agak lama. Toko Stigmata, yang berada di Bandung ini, menjual beragam sepatu Macbeth bagi para kolektor sepatu sejati di Tanah Air. Lokasi tempat yang juga mudah untuk ditemukan ini menjadi sebuah nilai plus bagi Stigmata.
Penjualan pun juga dibagi per season, jadi Anda pun tidak akan ketinggalan dalam hal koleksinya.
Brand Macbeth bukan satu-satunya koleksi yang ada di Stigmata. Banyak produknya yang berupa merchandise band-band lain, seperti: Taking Back Sunday, Foo Fighter, Christie Fred, Angel and Airwave, dan masih banyak lagi. Jaminan akan keasliannya pun tidak diragukan lagi, karena tidak ada satu pun barang palsu di toko ini. Sampai-sampai koleksi bajunya pun juga ikut-ikutanan dijamin sebagai original items. Lalu tidak hanya koleksi untuk pria saja yang mengambil peranan besar di toko ini, karena koleksi sepatu untuk wanita dari Macbeth pun juga tersedia lengkap, seperti contohnya buatan dari penyanyi Meg & Dia.
Jadi, bila Anda adalah salah satu dari mereka yang sedang sedih karena kebingungan mencari koleksi terbaru dari Macbeth, cheer up! Stigmata tersedia bagi Anda. Sekarang, jangan sampai sedih karena kebingungan memilih ya!

Rocket Rockers


salah satu band paling beruntung didunia karena menemukan nama yang keren, Rocket Rockers. Band yang cukup beruntung juga karena sejak awal sudah memperoleh dukungan darimana mana, kemungkinan besar karena banyak orang sudah mencium bakat mereka untuk sukses dikemudian hari.
Dan sekarang mereka sudah bersama major label, sebuah kesuksesan bagi mereka jika dilihat dari sebuah sisi.
Tetapi beneran deh, walau kepala gue ditodong pistol kami bener bener ga bisa menemukan banyak keungulan album ini daripada bahwa mereka memiliki sound yang lebih baik daripada sebelumnya.
Well tetapi jika memang kepala gue ditodong pistol beneran gue bakal menyebut bahwa ?terdiam? dan ?bukan solusi? adalah favorit kami semua disini.
Tapi dengan kenyataan bahwa kami semua jago karate, maka si penodong pestol sudah tiada sekarang, dan dengan menyesal kami harus sekali lagi mendengarkan album ini, karena sebenarnya tidak ada track yang dapat kami ingat dengan baik, kecuali lagu ?bangkit? itupun karena sering diputar diberbagai tempat, radio, tivi, dan di sebuah pertokoan (karena mungkin operator nya suka dengan RoRo) dan karena suara teriak teriak si Ucay ?bangkit bangkit?
Sayang sekali, karena mereka sudah memiliki karakter sendiri, yang jika terus dikombinasikan dengan peningkatan kemampuan membuat lagu yang tidak sekedar ?melodic? dan ?cadas? tetapi juga mampu menemukan kekuatan dalam tiap lagunya.
Dapat dikatakan bahwa kekurangan mereka dibandingkan dengan band paling terkenal di Amrik ?Good Charlotte? adalah RoRo hidup di Indonesia dan tidak memiliki produser yang dapat melambungkan nama mereka sebesar GC. Dan juga karena RoRo tidak dapat benar benar membuat albumnya se catchy namanya. But the cover was worth to be called ?catchy?.
Dengan segala ketidak relaan bahwa band yang sebenarnya idola saya di panggung ini menghasilkan album yang tidak dapat saya dengarkan lagi, kami benar benar berharap mereka masih menyajikan aksi panggung yang oke punya. Karena hal tersebut benar benar sebuah kekuatan tiada tara yang dimiliki RoRo, bahkan jika disuruh memilih antara melihat konser Simple Plan di Singapura atau RoRo di Bandung saya akan masih memilih RoRo.
Tapi dalam sebuah album punk ras bebas macam ini, kamu ga butuh semua itu, karena kamu cuma butuh sebuah ke intense-an distorsi tiga kord yang dimainkan penuh semangat dan cepat dan vokal yang penuh tenaga bercirikhas suara sengau. Yang tanpa perlu kamu tahu lagunya dapat dipakai untuk moshing bersama sama dengan kawan dan sama sama berkeringat tanpa memperhatikan bulu untuk dipandang.

Koil rekaman lagu baru


Band yang beberapa tahun lalu dikenal lewat album Megaloblast nya, dan beberapa videoklip nya diputar dengan frekwensi yang banyak sekali di televisi, merchandise kaos nya terlihat dipakai bergaul dimana mana.
Terdiri dari J.A.V, Leon, Dony, dan Imo mereka sekarang mempersiapkan rekaman album terbarunya nanti.
Ada 29 lagu baru yg telah dibuat sketsnya oleh doni untuk sementara koil hanya merekam 6 lagu yg diperkirakan lebih mudah prosesnya karena hampir semua materi
sangat sulit direkam dan biaya yang sangat paspasan.
Studio rekaman yg dipakai kali ini berkawasan di utara bandung, milik jeihan salah seorang pelukis tekenal di indonesia. studionya baru, alatalatnya baru, semuanya baru, sehingga semua set-up harus dirangkai dari awal dan banyak sekali masalah dengan listrik kabel dan kawankawannya.
Sementara koil hanya merekam track drum dan bass untuk dasar pengerjaan semua instrumen yang akan direkam bulan depan, baru 4lagu yg berhasil direkam.

Shredder Cewek Berbakat Indonesia


Prisa Adinda
Di usia yang baru menginjak 20 tahun, prisa adalah shredder termanis san mungkin terpopuler yang pernah terlahir di tanah air ini. Puluhan video di youtube membuktikan kepiawaian jari jemari lentiknya di atas fred gitar sambil sekali-kali ber-headbanging. Prisa sontak menjadi buah bibir masyarakat gitar nusantara mulai dari thread terpanjang di portalgitaris.com hingga ke berbagai media massa cetak dan elektronik pernah mengulas kemunculannya. Mengawali karir dar scene metal bawah tanah ibu kota dengan menjadi gitaris Zala, dead squad dan belakangan vendetta, prisa kini tengah mempersiapkan album debut pop major labenya.

Seringai


saya ingin mem-ba-ngun industri musik rock Indonesia yang sempat ada pada era akhir '70an dan awal '80an," tulis Arian13 di Multiply.com. Mimpi vokalis Seringai itu untuk membangun kembali kejayaan industri musik rock lokal perlahan namun pasti mulai menjadi kenyataan. Cara pertama yang dilakukan adalah merilis album debut penuh milik bandnya sendiri yang bertitel Serigala Militia (High Octane Production/Universal Music Indonesia). Sebuah album studio yang telah diantisipasi besar oleh fans dan tertunda tiga tahun karena beragam masalah yang menghadang internal me-reka.
Belum sepekan album ini di rilis secara nasional (5 September) angka penjualannya cukup menggembirakan. Terjual 5.800 keping. Memang angka ini tak adil jika dibandingkan dengan penjualan album band-band pop seperti Peterpan, Ungu, atau Nidji. Bisa jadi mereka menjual ribuan keping album setiap harinya. Namun setidaknya bagi band rock cadas seperti Seringai angka ini adalah harapan yang sangat menjanjikan.
"Thanks to you all, karena masih percaya dengan musik rock," lanjut Arian13. "Masih banyak sekali celah-celah yang berpotensi untuk mewujudkan sebuah scene musik rock yang nggak kalah dengan di luar negeri. Saya harap ini bisa menjadi kenyataan, tapi ini berarti memang masih banyak kerja yang harus dilakukan. Tidak apa, selama masih ada passion tersebut, mengapa tidak diikuti saja."
Perjuangan menuju rilisnya Serigala Militia memang tidak mudah.
"Pokoknya kalau dipikir pakai logika nggak masuk akal aja," ujar drummer Khemod. Selain para personelnya adalah pekerja kantoran yang memiliki jam kerja ketat, beragam kendala mulai dari proses rekaman hingga absennya manajemen ikut menghambat album ini. Mungkin yang menye-lamatkan band ini hanya passion dan kepercayaan mereka yang begitu tinggi terhadap rock.
"Banyak band-band yang n-ggak berhasil. Maksudnya, mereka main band dari jaman kuliah dan pas kerja bandnya mulai surut dan nggak merilis apa-apa. Bubar atau menghilang begitu saja. Kalau Seringai memang lumayan besar perjuangannya. Karena kalau nggak main band kami pasti mati!" tukas Arian13 seraya tertawa.
Untuk singel perdana album ini Seringai memilih "Citra Natural." Sebuah nomor rock sing-along yang bercerita tentang obsesi para perempuan yang ingin tampil "ideal" berkat standar yang dibuat oleh iklan-iklan di televisi. "Lihat bagaimana para produsen dan advertising bekerja keras membuat kita percaya kalau persepsi cantik dapat disamakan dan dikotakkan. Kami tidak setuju," tulis Arian13 di dalam sampul album Serigala Militia. "Kenapa kita tidak bisa nyaman dengan diri kita sendiri?" tulis Khemod di bawahnya.
Serigala Militia menampilkan 11 lagu bertegangan tinggi dalam format terbaiknya yang bagaikan perselingkuhan antara southern rock dengan metal. Ada nomor rock disko berjudul "Psikedelia Diskodoom" yang mengesankan kerinduan mereka akan venue musik legendaris seperti Parc. "Amplifier" yang mencerminkan semangat yang spartan dalam bermain musik rock hingga "Lagu Ini Tidak Sependek Jalan Pikiranmu" yang ternyata isinya sekadar "internal joke" di antara para personel Seringai saja.
Sikap politik mereka yang kontra dengan RUU Anti Pornografi dan aksi anarkis sayap kanan juga secara lantang dituangkan dalam lirik lagu "Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan)." Arian13 menjelaskan pendapatnya panjang lebar tentang hal ini, "Mengapa negara ini ha-rus menggunakan hukum dari agama tertentu. Padahal dari dulu kita sudah beragam. Tiba-tiba negara mau membakukan hukum yang belum tentu bisa diterima semua orang. Hal-hal pribadi mau diatur negara. Itu non-sense."

Young and Restlles




Musik memang sebuah bahasa yang universal. Bisa mempersatukan berbagai bangsa, sekalipun masing-masing punya karakter berbeda. Itulah yang coba dibuktikan oleh para personel band pendatang baru, Young & Restless.

Band yang namanya sering ditulis dengan Y & R atau Y + R itu dibentuk April 2005 di Canberra, Australia. Awalnya, mereka memakai nama …Wolves, kemudian menjadi The I Hate Yous, sebelum terakhir menamakan diri Young & Restless (Y&R).

Formasi awal itu terdiri atas Ash Pegram (gitar), Mark Falkland (gitar), dan Ross Paxman (bas). Ketiganya berasal dari Australia. Posisi vokalis dan drummer diisi kakak beradik, Karina dan Nugie Utomo. Awal 2008, lineup tersebut berganti dengan keluarnya Pegram dan Falkland, yang digantikan Josh Weller.

Band itu mengusung aliran yang mereka namakan gabungan dari hip hop, metal, indie, dan punk. Mereka mendefinisikan musik Y&R sebagai sesuatu yang berirama cepat, dance, dan kadang brutal. Itu terinspirasi dari scene musik hardcore yang sangat dominan di kota asal mereka, Canberra.

Mereka merekam single pertama, Satan, yang musiknya bernuansa hardcore dan dance. Lagu itu kemudian diberikan kepada James Ford, salah satu personel duo musisi Simian Mobile Disco. Ford me-remix lagu tersebut dan hasilnya dikirimkan ke radio, blog, dan beberapa pelaku industri musik lain.

Dengan segera, lagu itu mendapatkan porsi airplay tertinggi di salah satu radio anak muda terkemuka di Australia, Triple J. Album perdana, Young and Restless, beredar pada 14 Juli 2007.

Akhir 2007, Y & R mencoba melebarkan sayap di Indonesia. Mereka juga mengadakan tur di Pulau Jawa dan mengawali di Surabaya, 5 April lalu. Namun, tidak seperti band asal luar negeri lain, Y & R tidak mengadakan banyak promosi. Mereka pilih langsung mengedarkan album ketimbang gembar-gembor lewat media.

"Kami memang tidak ingin terlalu komersial. Kami ingin mengenalkan musik kami dulu, baru kemudian tampil di depan umum. Itu dilakukan sebagai usaha Young and Restless agar tidak kehilangan penggemar hardcore yang benar-benar bersemangat indie," ujar Nugie, sang drummer, ketika ditemui saat konser di Surabaya

The Mars Volta


The Mars Volta dibentuk oleh Omar Rodriguez-Lopez dan Cedric Bixler Zavala, dua orang teman baik yang sebelumnya tergabung dalam At The Drive In, sebuah band yang mempunyai pengaruh besar dalam genre progressive rock. Band ini seperti melanjutkan kehidupan At The Drive In dan memberikan pintu kebebasan yang sangat luas bagi Omar dan Cedric untuk mengekspresikan musik dan sound-nya. Pada dasarnya band ini dikategorikan dalam genre progressive rock, psychadelic rock, dan experimental rock. The Mars Volta lebih menekankan pada eksplorasi sound dan ambient music yang dikreasikan oleh Omar.
Ketika saya mendengar album perdana mereka, De-Loused in The Cromatorium, yang dirilis tahun 2003, saya masih bisa merasakan warna musik At The Drive In pada lagu-lagu mereka seperti Son Et Lumiere, Inertiatic Esp, dan Take The Veil Cerpin Taxt. Ditambah dengan berbagai macam sound yang diciptakan dari tangan Omar dan berbagai macam efek analog dan bantuan Isaiah Owens pada synthesizer, menjadikan semua lagu di album ini cocok bagi mereka yang sedang galau dan ingin mengeksploitasi ke-galau-annya pada lagu yang sendu tetapi dalam alunan musik rock.
Album kedua mereka, Frances The Mute, yang dirilis pada tahun 2005, dibuat untuk menghormati salah satu personil mereka, Jeremy Ward (sound manipulator) yang tewas karena overdosis. Album ini seakan-akan memberikan pesan bahwa The Mars Volta yang sekarang benar-benar berbeda dari album pertama. Genre psychadelic rock benar-benar mereka usung, bahkan bisa dikatakan mereka menitikberatkan pada perkataan psychadelic. Dengan beat drum yang tidak menentu, kualitas vokal Cedric Zavala yang nyaring dengan kekuatan liriknya yang kritis (lirik lagu The Mars Volta sebagian besar diambil dari pengalaman kehidupan pribadi Cedric dan anggota lainyya, dan juga mengkritik kejadian di lingkungan sekitarnya) dan menggabungkan dua bahasa (Latin-Inggris), serta kegeniusan Omar Rodriguez-Lopez yang kembali menciptakan sound-sound gitar yang tidak karuan tetapi menunjang permainan melodic-nya, dan mengaransemen semua instrumen yang ada selama proses produksinya, telah memberikan kesan bahwa inilah musik The Mars Volta yang sesungguhnya. Menciptakan sebuah harmoni musik dalam ketidakharmonisan musik itu sendiri. Ketika anda mendengarkan satu-persatu lagunya, anda tidak akan bisa menebak akan ke mana bentuk lagu ini hingga selesai. The Mars Volta selalu memberikan warna yang berbeda total dalam setiap lagunya, kadang-kadang cepat, kemudian melambat, lalu menyentak lagi dengan iram yang lebih cepat dan berantakan, yang membuat lagu-lagu di album Frances The Mute ini berdurasi di atas 7 menit.

Bagi sebagian pendengar, mungkin tidak akan menyukai lagu-lagu The Mars Volta karena warna musiknya yang sangat, sangat aneh, seperti yang telah saya tuliskan di atas. Tetapi jika kita mengetahui bahwa dua orang frontman The Mars Volta, yaitu Omar dan Cedric, sudah lebih dulu dikenal dalam At The Drive In sebagai orang yang genius dalam bermusik, bagi saya album Frances The Mute telah membuktikan kegeniusan mereka berdua dalam ekspresi bermusik dan juga musikalitas mereka yang masih orisinal.
Pada tahun 2006 mereka merilis album ketiga mereka, Amputhecture, dan salah satu lagunya, Tetragrammaton menurut saya adalah sebuah masterpiece dari semua hasil kerja Omar, Cedric, dan kawan-kawan.

4 ROCK SHOP terbaik indonesia

Ish-kabible
Plaza semanggi, lt 2.
Jakarta

Selain menggebuk drum di band grindcore bernama noxa, robin hutagaol mengelola sebuah toko rock yang menjual segala pernak pernik yang di butuhkan dalam budaya rock. T-shirt metal/rock berjejer menampilkan berbagai koleksi dari mulai old school metal macam napalm death. Goth macam Bauhaus, maupun indie rock seperti the pixies, kemudian juga beberapa t-shirt band metal/rock local. Divisi aksesoris menampilkan salah satu jasa body piercing terbaik di Jakarta. Di jual juga berbagai CD band-band metal yang mungkin sudah lama anda cari cari untuk dikoleksi seperti nuclear death.

Twenty thousand roads
Bandung

Untuk produksi impor berlesensi resmi, tempat ini adalah surga bagi para pebelanja rock merchandise. Menawarkan salah satu pilihan terbanyak untuk t-shirt rock impor dengan harga yang cukup bersahabat yakni Rp150rb. Juga mencengkangkan koleksi apparel rock seperti sepatu, dompet, patches, majalah musik rock, buku buku musik dan juga DVD. Salah satu yang menarik adalah bisa berbelanja kapan saja selama 24 jam via online store rockstar yang beralamat di www.rockstarcity.com. Catalog online mereka sangat lengkap dan silahkan cek situsnya.

Metal godz
Jalan dipatiukur, bandung.

Berbicara merchandise metal di bandung, tak akan lepas dari took satu ini. Koleksi t-shirt metal, DVD, maupun Cd dan vinyl, cukup memuaskan kolektor metal berselera tinggi. Dengan harga yang cukup memadai, yakni harga satu t-shirt dengan harga Rp150rb. Dari t-shirt punk/hardcore sampai klasik rock macam led zeppelin dan black sabath tersedia di sini. Surga para rocker. Tempat ini juga dikenal sebagai ticket box acara-acara rock di Jakarta dan Bandung.

Du 68
Bandung

Saya bersaksi pernah menemukan reign in blood milik slayer dengan keabsahan tertinggi-terteralah tanda tangan Dave Lombardo-,box set belle & Sebastian, album the blue stones, hingga album pertama pure Saturday yang masih disegel, di sini. Saya alergi dengan FO, namun saya mencintai sisi bandung yang satu ini

Kamis, 11 September 2008

Sandro vs. Shaun


The Skateboard Vert competition at the Portland stop of the Dew Tour is really anyone’s game -- Bucky Lasek, Bob Burnquist, Sandro Dias, Shaun White. Really, any of them could take it, but the competition between Dias and White should really be one to watch.

White is a relative newcomer on the Vert scene. He enjoyed his first pro win at the Louisville Dew Tour stop in 2005 and has been on fire every since, although his most impressive accomplishments (can you say Olympic Gold?) have come with him strapped on to his snowboard. Dias, on the other hand, is seasoned, to say the least, with almost ten years as a Vert pro under his belt. He was the third person to land a 900 on a skateboard and remains the only person to do it in his run in timed competition.

But for all of Dias’s experience and skills, the young gun White has been giving him a serious run for his money. First off, it was always Dias whose name was synonymous with amplitude, that is, until White started blasting his snowboard-style airs out of the vert ramp. And although he did not succeed in his attempts to land the 1080 at the X Games, White is as close as possible to landing it and will no doubt be the first one to pull it off. Okay, so the 900 will still be impressive, but a 1080? What’s next, a double backflip on a motorcycle? Oh, wait...

Anyway, back to White and Dias. The 2006 season has been impressive for both but in Denver, White took away Dias’s gold, or at least, some saw it that way. Dias threw down one of the best runs of this life, only to have White take it all with his remarkable amplitude and trickery.

Then at X Games it was payback time. Dias was on. He threw down a run to match his second-place run in Denver and took home his first X Games Vert gold medal. What about White? He had trouble sticking his run and ended up in 8th. Dias was no doubt ecstatic about his win, but it probably would have been a bit more sweet to do it when White was on.

Fellow Vert competitor Bucky Lasek says it’s hard to compare the two skaters. “Sandro is more fluid, more flowy, more stylish, and Shaun has more bangers and has his run more dialed.” But, he predicts, “If Sandro pulls out the 900 it will be all over.”

In Portland, White looks to defend his Denver win and also get back on the horse after faltering at X Games. Dias is floating high off his gold and would love to beat the 18-year-old snowboard sensation (and of course, everyone else). Both skaters have had trouble with consistency in the past, but if they are both on in Portland, it should be a close match and an exciting show.

Jereme Rogers, Nyjah, and Rodolfo Clinch Top 3


As if it wasn’t hot enough here in Denver at the Right Guard Open, the boys of skate park decided to really crank up the heat at the park finals. During Thursday's park prelims Rodolfo Ramos took first, Nyjah Huston second, Kyle Berard third, and 16 year-old ladykiller Ryan Sheckler finished in ninth. And they all came to Friday’s finals ready to fight to the finish.

And the spectators came ready for a serious show. The bleachers were packed like sardine cans with raving fans. The energy in the park was electric. In between sessions they had interviews with today’s vert skate prelim winner Pierre-Luc Gagnon and FMX favorite Travis Pastrana. Plus, they were giving away crazy loot: signed boards, tshirts and all kinds of other shwag that sent the crowd screaming. All I gotta say is these Dew Tour peeps know how to put on a good show.

Oh, and then there was the real show. The skate park finals were divided into three events: a single run and two jam sessions for the top riders. We watched Sheckler tear it up on the flat rails nailing kickflip 50-50’s and frontside nose grinds left and right. Not bad for someone who did a little accidental firewalking just a couple of weeks ago at a 4th of July beach bonfire. Nyjah looked totally solid yet again. This kid is fast becoming one of the most consistent riders on the circuit. He was pulling big heel flips over the center box, backside lipslides, 5-0’s and backside tailslide to fakies down the flat rail, and too many other tricks to name.

Jereme Rogers was all about switch. Switch tailslides to fakie down the flat rail. Switch feeble grinds to fakie. You name it. He was doing it… switch. Chad Bartie rocked out to the classic tunes of AC/DC and doing big, gooey tailslides on the big wall. Rodolpho had a stellar first run with a big, floating kickflip over the center box and a frontside 180 crooked grind to fakie on the flat rail.

And finally, I can’t forget to mention Eric Koston. Everyone was surprised to see the multi-gold medal-winning legendary skater show up at the prelims Thursday. And a welcome surprise it was. Eric’s got such great style and such a positive attitude. He was smiling ear to ear skating long after the buzzer sounded for his run to end. He was just having so much fun he couldn’t stop.

So, after round one, which consisted of single runs from each skater, and jam session #1 the standings looked like this: Jereme Rogers in first, Nyjah Huston in second, Rodolpho Ramos third, Ryan Sheckler fourth, and Eric Koston in fifth. Fans were on the edge of their seats as the second jam session started up. All five riders on the course at the same time trying to secure top-three finishes makes for a crazy show. And when the smoke had cleared… the standings remained the same! Rogers took first. Nyjah took second. And Rodolpho took third. Sheckler had to settle for fourth, but hey, you can't win all the time. He'll be back for the Portland stop of the Dew Tour - so ladies: there'll be plenty more of him to see.

Bucky Lasek wins one


I had the honor of standing next to an awe-struck Steve Caballero to watch today’s Skate Vert Finals. In between his oohs and ahs as he went nuts over each consecutive performance, he looked at me and said, “It’s come a long way, man.” Indeed.

Bucky Lasek’s first round score of 91.75 put him in the lead heading into round two, and held strong to give him his first win on this Dew Tour. Lasek, the returning 2005 Dew Tour champion, was the overall points leader coming into this event but had yet to place higher than second in previous events. His winning run included a nollie heelflip to fakie, a frontside heelflip gay twist, and a huge frontside Caballaerial – a tribute nod to the local legend that was respectfully made by nearly every skater here at some point during the Toyota Challenge Prelims and Finals.

Lasek’s win didn’t come easy: 2nd and 3rd place finishers Sandro Dias and Bob Burnquist were skating at the top of their game, and some of the skaters further down the list were skating better than we’ve seen all summer: Rune Glifberg, Tas Pappas, Lincoln Ueda and Mathias Ringstrom each had runs that might have put them in the top three if they’d each held on for one more second. In a contest this close, the difference between 44 and 45 seconds of quality skateboarding is huge.

After the contest, Burnquist – who limped into the Toyota Challenge with a cane and a broken toe – made several just-barely 900 attempts. He was having more difficulty walking up the stairs to the roll in deck than he was attempting the trick! He one-footed two landings before giving up and heading in for painkillers.

After the contest I had time to ask Steve Caballero one quick question to sum up his reaction to the contest: Cab was a hero of mine when I started skating back in the 80s, and I wanted to know what he thought the 80s version of himself would have been most surprised about by the state of skateboarding, circa 2006.

“I’m so impressed by the tricks – I never imagined that the progression of the sport would go so far,” said Caballero.

“Back in the 1980s it felt like it had peaked, and there was nothing much you could do afterwards. But with years gone by, it’s proven that the sport keeps progressing further and further. It goes to show you: keep an open mind and stay positive, and don’t limit yourself as far as thinking anything is impossible. That’s the lesson you have to take from watching guys like these. The guys who keep their minds fresh, try new things, and take risks are the guys who are progressing the sport. Bucky, Sandro, Bob, and the rest of these guys deserve everything they’ve got coming to them.”

Lasek now leads in the overall points race, with 313 points heading into the Playstation Pro, the final Dew Tour stop next month in Orlando. To shake things up, Sandro Dias would need to win in Orlando, with Lasek in 4th place or lower. Otherwise, Lasek will be adding to his collection of Toyotas and drinking from the Dew Cup.

Nyjah Huston


Once in a great while, an athlete emerges from the long shadows of a sports’ top competitors to remind them that glory is fleeting and fame is only temporary. In skateboarding, this inevitable sea-change is happening now. The athlete’s name is Nyjah Huston of Davis, California, and at an astounding eleven-years-old he's bringing a blistering heat to the ramps that's causing his well established competitors to break out in a cold sweat.

Some cynics are calling this young park assassin a flash-in-the-pan. Only time will tell if that's the case. But to be so irrefutably talented at age 11? Huston appears to have all it takes to make high-ranking veterans twice his age -- and thirty-something standouts like Ronnie Creager and Element teammate Chris Senn -- wondering if their days are numbered.


For those who have yet to experience it, watching Nyjah creates an instant sense of duality. He appears utterly unfazed by the glitz-blitz that surrounds current pro skate events. Liberated from the pressure of high expectations, Nyjah takes flight with a poise and confidence that lifts the spirit of all onlookers. It's as if he's simply there for the joy of finding that zone where the only thing that matters is having fun. The five-digit paydays are just icing on the cake. He has the smile of a Boy Scout, the self-assurance of a gladiator, and the air of a carefree youngster, all crammed into a frame that makes you wonder if he could pass the height requirement for the rides at Six Flags.

Not that Nyjah cares; who needs and amusement park when you can shred the Park Finals on the pro skate circuit the way he did last month in Louisville. Even though he placed second behind 16 year-old Ryan Shackler (a red-hot pistol in his own right) Huston so ignited the crowd and the judges that Panasonic and the Kentucky Sports Authority presented him with the first ever Kentucky Unbridled Spirit Award for Action Sports. How’s that for standing tall?

Nyjah’s next duel-on-the-decks comes this week at the next stop of the Dew Action Sport Tour: The Right Guard Open. Tongues are already wagging in anticipation, wondering if he can pull off a history-making upset against a talented field of established competitors. If he does, he'll be one of the youngest to ever do so. For Huston, though, one gets the impression that respect and adulation aren't a big part of what he's seeking. Not yet, anyway. For the time being, He's just here to slay another rail, and plant a smile across the face of anyone who ever landed a trick.

Ali baloula dipenjara

Satu lagi skateboarder profesional terkenal harus merasakan hidup di penjara. Ali Boulala mendapat tuntutan 2 tahun penjara karena mengendarai sepeda motor dalam keadaan mabuk sehingga terjadi kecelakaan. Tragedi naas tersebut menyebabkan kematian Shane Cross juga seorang profesional skateboarder yang pada saat itu sedang berboncengan dengan Ali. Pada darah Ali ditemukan kadar alkohol sebanyak .162 sedangkan darah Cross hanya pada level .18.

Berawal dari keduanya Ali dan Cross nongkrong bareng di Cherry Bar, Gold Coast, Australia. Mereka berencana pergi ke rumah seorang teman Cross mengendarai motor. Ali berada diposisi kemudi dan cross dibelakangnya. Mereka sempat berputar 2 - 3 kali di depan sebuah hotel sebelum mereka menabrak dinding hotel, diperkirakan kecepatan motor saat itu sekitar 30 km/jam sekitar jam 01.00 malam. Pada saat terjadinya kecelakaan keduanya tidak memakai helm. Ali mengalami cedera otak sehingga harus dirawat selama 3 bulan di rumah sakit dan mengalami trauma amnesia paska kecelakaan selama 65 hari. Shane Cross tidak tertolong ketika tiba di rumah sakit.

Tragedi ini sangat disayangkan karena Ali Boulala dikawatirkan sudah tidak dapat bermain skate secara normal dikarenakan cedera serius di bagian kakinya. ita juga kehilangan seorang talented skateboarder Shane Cross.