Tampilkan postingan dengan label graffiti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label graffiti. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 September 2008

Cacian dan Senyuman untuk Komunitas Artcoholic


MESKI punya nilai seni serta enak dipandang mata, ternyata grafiti juga mampu membuat orang lain berang. Soalnya, tidak sedikit pemilik rumah atau bangunan keberatan tempatnya dicorat-coret. Kalau itu yang terjadi, tidak jarang membuat anak muda komunitas grafiti sedikit keger, apalagi sampai berurusan dengan aparat.

''Iya, pernah kita bikin grafiti di kawasan perumahan sekitar Blok M, dan ternyata tuan rumahnya marah besar,'' kata mahasiswi Desain Grafis, Lembaga Pendidikan Inter Studi (LPIS) Jakarta, Marintan.

Waktu itu, ceritanya, bersama teman-teman lainnya ia membuat sebuah grafiti di salah satu tembok rumah. Beberapa saat kemudian, tuan rumah mencak-mencak karena menganggap temboknya dicoret segerombolan anak muda berandal.

Tidak tanggung-tanggung, sang empunya rumah memanggil ketua rukun warga (RW) serta melaporkan aksi itu ke polisi. Reaksi itu sempat membuat ciut Marintan dan teman-temannya walaupun mereka sudah minta maaf dan mengecat kembali tembok tersebut. ''Padahal kita sudah mengecat ulang kembali, dan polisinya sendiri sudah tidak mempermasalahkan lagi perkara ini. Tetapi tetap saja tuan rumah masih marah, bete banget kan,'' tutur Marintan.

Gaban --panggilan akrab Marintan-- juga mengaku pernah didatangi pemilik salah satu hotel. Sekuriti dan pihak gedung tersebut merasa keberatan jika temboknya dicorat-coret, akibatnya dari pihak mahasiswa meminta maaf dan meminta waktu dua minggu untuk mengabadikan beberapa grafiti yang telah dibuat.

Sedangkan Jakie mengaku pernah dikejar-kejar aparat keamanan karena membuat grafiti di salah satu tembok kantor. Bersama teman lainnya lari terbirit-birit menuju gang kecil dan berpura-pura berbaur dengan masyarakat. ''Kita pura-pura jadi masyarakat situ yang lagi nongkrong di pinggir jalan, terus setelah melihat kondisinya aman kita kembali lagi untuk menyelesaikan gambar yang belum jadi,'' jelas Jakie

Berbeda dengan peristiwa di atas, aksi demo komunitas 'Artcoholic' membuat grafiti di under pass Jalan Casablanca, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu berlangsung lancar.

Bahkan, hingga tengah malam, tidak kurang ada lima mobil patroli polisi yang melintasi di dekat komunitas grafiti itu bekerja. Salah satu di antaranya berjalan perlahan dan tersenyum sambil melambaikan tangan kepada anak-anak muda 'Artcoholic' itu, padahal sebelumnya jantung mereka sempat berdebar kencang karena takut.

Sedangkan para pengguna jalan lainnya justru menikmati aksi mereka; beberapa dari pengendara sengaja melaju lamban. Salah seorang pengendara motor terlihat berhenti dan tiba-tiba mengeluarkan kartu nama. ''Orang itu bilang gue disuruh SMS --short massege service-- ke nomor handphone-nya agar nanti jika dia butuh bisa menggunakan kita,'' tutur salah satu 'Artcoholic', Okta.

'JOGJA BERHATI MURAL' Sebuah Dokumentasi Urban Art di Yogyakarta


C-Cinema merupakan produk riset materi dokumentasi audio visual Indonesian Visual Art Archive, yang bertujuan untuk mengoptimalkan kerja dokumentasi audio visual sehingga bisa diapresiasi oleh masyarakat luas. Sebagian besar footage dan foto dalam video ini menggunakan material koleksi audio visual yang telah dikumpulkan pusat dokumentasi IVAA sejak tahun 1999 – 2006 yang dikomparasi dengan riset perkembangan seni publik (mural) dan urban art di Yogyakarta.

Projek Dokumenter C-Cinema IVAA yang perdana ini ingin memperlihatkan perkembangan seni publik (khususnya mural kota) yang ada di Yogyakarta dalam kurun waktu '90-an hingga sekarang. Dalam kurun waktu hampir satu dasawarsa, mural banyak melibatkan aspek partisipasi masyarakat secara luas dan memberi pengaruh pada kebijakan pemerintah kota, dan seniman muda, serta turut membentuk identitas kultur baru pada kota Yogya itu sendiri di era sekarang.

Graffiti Sebagai Karya Seni?

Dinding-dinding di sepanjang Jalan Tamblong yang semula putih bersih, kini sedikit berwarna. Kini, selain dipenuhi oleh "flyers" dan poster yang ditempel sembarangan, coretan-coretan jahil yang dibuat dengan cat semprot, juga mulai memenuhi dinding-dinding tersebut. Bikin mata orang-orang yang lalu lalang, mau nggak mau seperti tersihir untuk melihat atau sekadar melirik. Katanya sih, itu adalah graffiti, coretan yang dibuat untuk mengekspresikan kebebasan.

Graffiti yang berasal dari bahasa Yunani "graphein" (menuliskan), diartikan oleh wikipedia.org sebagai coretan pada dinding atau permukaan di tempat-tempat umum, atau tempat pribadi. Coretan tersebut, bentuknya bisa berupa seni, gambar, atau hanya berupa kata-kata. Graffiti yang banyak bertebaran di jalanan kota Bandung, masih sebatas coretan kata-kata yang merupakan identitas geng atau malah hanya berupa nama. "Itu masih bisa dikategorikan sebagai seni, walau mungkin pada levelnya berbeda, ya," ungkap Roy, seorang pelaku graffiti yang sempat belia temui ketika membuat satu graffiti di sebuah distro di bilangan Jalan Burangrang, Jumat (9/12).

Penggunaan cat semprot untuk bikin sebuah graffiti, sudah mulai dikenal di New York, akhir tahun 60-an. Coretan pertama dengan cat semprot, dilakukan pada sebuah kereta subway. Seorang bernama Taki yang tinggal di 183rd Street Washington Heights, selalu menuliskan namanya, entah itu di dalam kereta subway, atau di bagian luar dan dalam bis. Taki183, gitu bunyi tulisan yang ia buat menggunakan spidol. Taki ini seperti ingin nunjukkin identitas dirinya. 183 yang ia tulis setelah namanya, nunjukkin tempat tinggalnya.

Gara-gara coretannya tersebut, orang-orang di seluruh kota jadi kenal dengan Taki, lewat coretan-coretan misteriusnya. Di tahun 1971, mister Taki ini diinterview oleh sebuah majalah terbitan New York. Dari situlah, kepopuleran Taki diikuti oleh anak-anak seluruh New York. Anak-anak ini tertarik karena kepopuleran bisa diperoleh dengan hanya menuliskan identitas mereka --disebut juga tagging-- pada bus atau kereta yang melewati seluruh kota. Semakin banyak nama atau identitas seorang anak, sudah pasti ia akan semakin populer.

Setelah spidol, media yang kemudian biasa digunakan adalah cat semprot, yang dipakai untuk nge-bomb (istilah untuk menyemprot) bagian luar kereta. Karena semakin banyaknya orang-orang yang bikin tagging, nggak heran kalau setiap writers, pengen punya style sendiri. Dari situ, mereka nambahin warna-warna yang eyecatching, efek-efek khusus, bahkan mereka mencoba untuk menuliskan namanya lebih besar. Dengan bantuan cat semprot, pengerjaan graffiti ini lebih cepet beres.

Makanya, untuk mengantisipasi tagging yang mulai mewabah, pihak kepolisian setempat sampai melarang penjualan cat semprot pada anak-anak di bawah umur. Saking banyaknya pelaku graffiti, di Meksiko pun diberlakukan aturan serupa. Bahkan, setiap pembeli cat semprot harus menunjukkan identitas yang jelas dan menyertakan alasan untuk apa cat semprot itu digunakan.

"Bikin graffiti di public space itu seperti punya gengsi sendiri. Selain itu adrenalin bakal terpacu, karena takut dikejar polisi atau gangster," kenang Roy, yang pernah ke-gap sama gangster pas bikin graffiti di public space. Yup. Selalu public space yang menjadi sasaran para seniman jalanan ini untuk berkreasi. "Sebagian orang ada yang nganggep graffiti sebagai karya seni, tapi nggak sedikit juga yang bilang kalau coretan-coretan itu malah ngerusak," kata Radi, seorang mahasiswa seni lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB.

Jika graffiti ini dilakukan tanpa seizin pemilik tempat, perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan vandal. Mungkin banyak di antara Belia yang belum tau apa itu arti vandalisme. Vandalisme bisa diartikan sebagai tindakan yang merusak properti orang lain. It means, graffiti atau mural yang dilakukan tanpa izin di tempat-tempat umum, bisa dikategorikan sebagai vandalisme. Sementara, banyak orang yang berpendapat, kalau graffiti di dinding-dinding jalan, masih lebih baik daripada dinding-dinding tersebut kotor, tidak terawat, dan penuh dengan tempelan flyers atau brosur-brosur yang nggak penting.

Kalau Belia lewat Jalan Siliwangi, mata terasa lebih segar karena ngeliat mural di sepanjang dinding jalan, pasti setuju kalau karya seni yang seperti itu bukan termasuk perbuatan vandal. "Iyalah. Soalnya mural di Siliwangi itu legal kok. Pihak Pemda, sekitar dua tahun lalu, pernah ngasih proyek itu buat kita," kata Yogie, yang bareng Radi, jadi konseptor pembuatan mural tersebut.

Mural yang berarti lukisan pada permukaan yang lebar, memang terasa lebih legal dibandingkan dengan graffiti yang berkesan liar. "Bedanya sih, mungkin hanya pada medianya aja ya. Kalau graffiti banyak pake cat semprot, sementara mural make cat tembok. Kalau nyeni atau nggaknya ya, tergantung yang liat. Nggak ada parameter khusus," lanjut Yogie.

Senada dengan Yogie, Roy pun bilang kalau bagus atau jelek itu relatif. "Susah sih, kalau mau bilang bagus atau jelek. Isi tulisan-tulisannya, mungkin dibilang jelek tapi malah keinget terus sama yang baca. Tapi graffiti di film Alexandria saya bilang butut, sementara orang lain mungkin bilang itu bagus," tandas Roy sembari memberi contoh.

Legal atau nggaknya sebuah karya di jalanan, bagi Roy yang juga lulusan FSRD ini, tetap dinilai sebagai sebuah karya. "Di Jogja, graffiti dan mural malah dilegalkan. Pemerintah setempat ngebolehin, bahkan menyediakan lahan untuk para street art berkarya. Sementara di Bandung, belum ada pelegalan seperti itu. Beda ceritanya kalau lu punya duit," katanya sedikit berapi-api.

Alih-alih sebagai tindakan vandal, graffiti, mural, tagging, dan sebagainya adalah merupakan kebebasan berekspresi. Tetapi, kebebasan berekspresi saat ini masih didominasi oleh kaum berduit, yang mampu membeli tempat untuk menumpahkan kreativitasnya. Sementara para seniman jalanan, mesti sembunyi-sembunyi atau malah kejar-kejaran dengan pihak aparat hanya untuk berkreasi. "Seniman yang jelas-jelas bikin karya di privat place aja sempat dibakar aparat, apalagi street art yang berkarya di public space," lanjut Roy.

Setiap seniman punya style masing-masing untuk mengekspresikan karyanya. Makanya, tidak sedikit seniman yang malah "bersaing" untuk bisa menciptakan karya bagus di tempat yang lebih lebar, misalnya, atau untuk meraih kepopuleran. Selain saingan, ada juga proses pembelajaran yang diturunkan dari seniman yang tergolong kelas senior kepada juniornya. "Yang baru belajar biasanya jadi kenek dulu. Kerjaannya masih sebatas ngewarnain, atau bantuin yang gampang. Seniornya, yang bikin sketsa di kertas dan di dinding," ujar Roy.

Proses bikin graffiti atau mural kurang lebih sama. Pertama, sketsa dibuat pada kertas, lalu kemudian sketsa tersebut dipindahkan ke dinding. "Yang lebih gampang sih, si sketsa udah "ditembakkin" pake proyektor, jadi nggak perlu bikin sketsa di tembok. Tapi, ya, gengsinya mungkin lebih turun kalau dibantu pake proyektor," kata Roy lagi.

Nggak sedikit duit yang dikeluarin untuk bikin satu graffiti atau mural. "Untuk bikin gambar di tembok yang berukuran sedang, bisa habis kira-kira dua puluh kaleng cat semprot. Sementara ini (garasi distro yang sedang dibuat graffiti-red) abis 40an kaleng," jelas Roy.

Sayang banget kan kalau hanya ngabisin cat semprot untuk tulisan-tulisan yang nggak ada maknanya, atau malah bikin sebel orang yang liat. Radi dan Yogie pun punya pendapat serupa. "Kalau mau bikin graffiti atau mural, mending sekalian yang edun, daripada hanya tulisan atau gambar yang teu kaharti."katanya.

Graffiti sampai kapan pun mungkin bakal jadi kontroversi. Di satu pihak bakal bilang kalau graffiti itu perbuatan vandal, tapi pihak yang lain mengartikan seni, kebebasan berekspresi. Lain halnya di Yogyakarta, yang setiap seniman bebas berkarya, pihak pemerintah pun nggak perlu repot-repot ngejar-ngejar seniman yang bandel. Karya yang nggak bikin sakit mata, lebih-lebih sakit hati, tentu bakal diapresiasi dengan baik oleh masyarakat. Kebebasan berekspresi bisa saja diredam, tapi nggak bisa dihentikan.***

Warna-warni Grafiti Mengepung Kota




Setiap hari, tiap kali menempuh ruas jalan di Jakarta, sekali waktu mata Anda mungkin pernah tergoda memerhatikan warna-warni coretan cat semprot yang menempel di dinding kosong, halte, tiang listrik, dinding seng, hingga badan bus metro mini.
Bunyinya bisa macam-macam, mulai dari sekadar nama sebuah sekolah penguasa jalur sepanjang rute bus, tuntutan kepada pemerintah, hingga tulisan-dilengkapi gambar-dengan desain dan komposisi warna yang rumit.

Goresan itu terbagi dua yaitu grafiti (coretan) dan mural (lukisan). Kehadirannya pun punya dua makna, memperindah atau malah dianggap mengotori pemandangan.
Buktinya, lukisan mural karya para perupa dalam ajang Jak@rt lima tahun lalu justru dihapus Pemda DKI Jakarta.

Sebaliknya di Yogyakarta, kedua karya itu justru jadi bagian tak terpisahkan dari kota itu. "Yogyakarta harus diakui sebagai tempat tumbuh kembang grafiti dan mural. Di sana jauh lebih berkembang dibandingkan kota-kota lain," ujar Ing, salah satu pentolan grafiti Bandung yang juga pemilik distro Wadezig.
Sementara itu, di Jakarta selama menyusuri ruas jalan Jakarta, saya mencatat setidaknya ada beberapa seniman grafiti yang rajin ngebom atau membuat karya mereka di seantero tembok kusam Ibu Kota.

Sebut saja Darbotz alias Darma Adhitia, pendiri TembokBomber.com yang lebih suka disebut sebagai street artist daripada artis grafiti, karena dia tidak hanya berkarya dengan cat semprot, tapi juga dengan cat biasa dan sticker.
Terkenal dengan karakter 'cumi' yang menghiasi jalan-jalan di Jabotabek, misinya adalah untuk membuat karakternya terkenal menjadi sebuah brand.

Ada Toter Crew, diperkuat Kicky dan Wormo pada pertengahan 2002. Toter atau Total Teror, berasal dari kata gaul Malaysia, berarti mantap. Toter mulai berkreasi di jalanan sejak 2004. Keduanya percaya bahwa grafiti jalanan bukanlah perusakan, dan jalanan adalah sebuah galeri yang besar dan bebas.
Pada saat masih belajar ngebom di jalan-jalan Jakarta, mereka bergabung dengan TembokBomber. Sekarang keduanya bekerja sebagai desain grafis paruh waktu.

Ada pula Tutu alias Age yang termasuk senior dunia seni Jakarta. Ketika stensil belum ada, kita bisa temukan hasil karya stensilnya berupa karakter beruang Winnie the Pooh & wajah misterius di bemo dan bajaj di Kemang, daerah kekuasaan Tutu. Saat ini dia bekerja sebagai 3D Animator di SpatLab dan Animagic. Baginya, street art adalah cara untuk menunjukkan kritik sosial.

Lalu ada Modern Crew, alias Echo. Sejak demam seni grafiti mulai melanda Jakarta pada 1997, seniman ini dikenal memiliki teknik pewarnaan yang sangat bagus. Dengan karyanya, dia selalu mencoba untuk menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar ekspresi.

Begitu pula Kims atau Prianggadhi Angga yang memulai grafiti sejak 1998. Lima tahun kemudian, bersama dua temannya membentuk Fat Crew, tapi akhir-akhir ini Kims berkreasi sendiri dan tidak memakai tag Fat Crew lagi.

Ada juga Ones, salah satu Artcoholic Crew. Mahasiswa InterStudi ini telah melakukan grafiti lebih dari lima tahun. Karya-karyanya banyak mengandung pesan kepada publik bahwa grafiti bukan kejahatan atau perusakan.

Lalu, Graver, anggota Mase Crew yang terbentuk dua tahun lalu dan punya cita-cita meningkatkan dunia grafiti di Indonesia dan dapat menjadi salah satu legendaris grafiti.

Salah satu srikandi di dunia ini adalah The Slyndicates alias Sanchia. Termasuk pendatang baru di komunitas desain grafis Jakarta.
Perempuan ini dikenal dengan ilustrasi dan karakter desainnya yang aneh, sebuah media di mana dia menemukan kebahagiaan dalam menuangkan emosi di tembok.

Nama-nama mereka terdengar aneh di kuping. Maklum, seni yang mula-mula berkembang di tembok makam kuno atau rusak ini lalu jadi penanda kekuasaan gang sejak dimulainya urbanisasi besar-besaran di berbagai daerah di AS.

Dalam dunia grafiti, tanda ini dikenal sebagai tag, namun mendekati akhir abad ke-20, tag tidak berhubungan lagi dengan gang dan mulai diberlakukan seperti tanda tangan.
Tag, seperti nama samaran, kadang dipilih untuk merefleksikan beberapa kualitas dari si pembuat (writer). Tagging dipopulerkan seniman Hobos dan dengan bantuan media dan musik rap; sehingga ditiru di seluruh dunia.

Butuh nyali
Sebagai aktivitas yang rentan disebut pengganggu ketertiban, selain para seniman grafiti dituntut punya kreativitas dan teknik yang tinggi, mereka juga diwajibkan punya nyali lebih kalau sewaktu-waktu digertak petugas.
Lebih sial lagi kalau kemudian mereka kemudian sampai harus masuk bui gara-gara terkena pasal-pasal vandalisme akibat aktivitas coreng-moreng di dinding Ibu Kota itu.

"Tapi akhir-akhir ini kami udah jarang ngejar-ngejar mereka [pembuat grafiti] kayak dulu. Soalnya karya mereka sekarang bagus-bagus. Justru yang mengotori pemandangan itu iklan," ujar Udin, petugas Tramtib yang ditemui Bisnis di persimpangan Slipi.

Toh meski mulai 'aman', para pembuat grafiti di Jakarta tetap saja punya keinginan untuk membuat grafiti di posisi yang menantang. Misalnya tempat yang susah di jangkau di tiang jalan layang yang tinggi. Selain menaikkan pamor, juga untuk memperoleh hasil yang terbaik.

"Tapi pernah juga sih kita dilaporin Tramtib ke polisi waktu ngebom [bikin grafiti] di Pondok Indah. Tapi nggak sampai harus masuk penjara. Cuma disuruh ngecat dan bikin surat perjanjian nggak akan ngebom lagi," kenang personel Toter, Wormo.
Jebolan Limkokwing Institute Creative of Technology (LICT) Malaysia itu dalam sebulan bisa dua atau tiga kali ngebom dengan sedikitnya enam kaleng cat semprot di tempat-tempat yang menantang dan tidak dipikirkan orang lain.

Selain bermodalkan senjata tradisional cat kaleng semprot atau stensil di tempel, ada pula yang fanatik menggunakan teknik Wheat Pasting atau Paste - Up yang biasa dikerjakan oleh The Slyndicates.
"Caranya gambar, terus di fotokopi perbesar sebesar-besarnya, gunting lantas ditempel di mana saja menggunakan lem fox campur air. Budgetnya sih tergantung mau nempel berapa banyak, tapi modalnya kira-kira Rp200.000-an," tutur dia.
Jebolan Swinburne National Institute of Design, Melbourne, Australia, dan Amsterdam Instituut Voor Schilderkunst (AIS) itu mengaku menggunakan teknik itu karena kurang percaya diri dengan penggunaan cat semprot. Hanya saja, lanjut dia, teknik ini punya kekurangan tak tahan lama dan sangat mudah rusak jika tersiram air hujan atau lapuk oleh kelembaban.

Toh, apapun teknik yang dipakai para penggiat grafiti di tanah air, nasib mereka jelas lebih bagus dibandingkan kawan-kawan mereka di luar negeri.
Sebut saja pentolan grafiti internasional asal New York , Ewok-sempat datang ke Jakarta bulan lalu-yang sudah delapan kali masuk bui karena grafiti dari 1993 hingga 2001.

Dengan kondisi ini, tak heran setiap hari akan makin mudah saja kita temui grafiti baru di sudut kota Jakarta dan warna-warni indah itu serasa makin mengepung kita.